PKS Solo Jaring Balon Internal

Tahun 2015,Kota Bengawan itu bakal menggelar pesta demokrasi tahunan yang dikenal dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). PKS bersiap-siap mengusung balon internal dengan melakukan penjaringan kader internal DPD PKS Kota Solo

Jadwal Tahapan Pilkada Solo 2015

Tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Solo 2015 bakal dimulai pada Oktober 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo sudah menyusun tahapan Pilkada 2015 mulai dari pemutakhiran data pemilih, pembentukan lembaga penyelenggara pemilu, dan sosialisasi

Antrean Petani Beli BBM

Puluhan warga antre membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014. Mereka rela antre jeriken selama enam jam di SPBU tersebut karena adanya kebijakan pembatasan BBM dari pemerintah pusat.

Antrean BBM Mengular di Sragen

Antrean warga mengular saat membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014.

PARTAI DEMOKRAT

Lambang bintang mercy Partai Demokrat. Di Solo, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono hanya memiliki tiga kursi di DPRD Solo

Minggu, 28 September 2014

PKS Solo Jaring Balon Kepala Daerah dari Internal


SOLO—Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Solo melakukan pemilihan raya (pemira) untuk menjaring bakal calon (balon) wali kota atau wakil wali kota (wawali) dari internal partai. Hasil pemira yang dilakukan secara tertutup itu akan menjadi pertimbangan Tim Optimalisasi Musyarakah (TOM) untuk menentukan arah koalisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Solo 2015.

Pemira yang digelar Sabtu-Minggu,27-28 September 2014, itu melibatkan 1.000-an kader PKS se-Kota Bengawan, baik dari kader pemula, kader muda, kader dewasa, sampai kader ahli. Setiap kader memiliki hak suara untuk mengisi formulir yang disediakan pengurus DPD PKS Solo. Formulir itu hanya berisi dua pertanyaan, yakni pertanyaan tentang adakah kader PKS yang memiliki kapabilitas menjadi balon kepala daerah dan pertanyaan lanjutan tentang siapa nama kader itu.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PKS Solo, Abdul Ghofar Ismail, saat ditemui, Sabtu, 27 September 2014, mengatakan pemira menjadi amanat musyawarah daerah (musda) pada akhir 2010 yang harus dilaksanakan. Menurut dia, ada dua rekomendasi musda yang harus direalisasikan PKS Solo, yakni menjadikan PKS sebagai partai pemenang kedua di Solo dan menjadikan kader PKS menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Atas dasar dua amanat itu, Ghofar, sapaan akrabnya, menyatakan rekomendasi pertama sudah terealisasi, sedangkan rekomendasi kedua diupayakan dengan start lewat pemira. “Pemira jadi sarana untuk menentukan balon wali kota atau wawali dari internal partai. Hasilnya nanti akan menjadi pertimbangan dalam syura TOM,” urai dia.
Dia mengatakan partai di luar PDIP masih ada harapan untuk menang dengan pelaksanaan pilkada lewat DPRD. Meskipun dalam perhitungan di atas kertas, PDIP dipastikan menang dalam pilkada Solo 2015. “Masih ada peluang. Kami tidak boleh putus asa sebelum berusaha. Jika parpol di luar PDIP ini bersatu, harapan untuk menang masih terbuka,” pungkas dia. (ok)


RUU Pilkada Disahkan, Demokrat Ubah Format Koalisi



SOLO—Pasca-Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala daerah (Pilkada), Partai Demokrat Solo terpaksa harus mengubah format gerakan koalisi dengan partai politik (parpol) lain di DPRD Solo. Partai berlambang mercy itu menyiapkan tujuh kriteria untuk bakal calon (balon) wali kota dan wakil wali kota (wawali).
Tujuh syarat itu ditentukan berdasarkan hasil diskusi yang melibatkan kalangan akademisi, pelaku bisnis, tokoh agama, dan stakeholder lainnya. Demokrat mencoba melibatkan publik dalam pilkada Solo 2015 meskipun pelaksanaannya dimungkinkan lewat DPRD Solo.
Semula koalisi parlemen Partai Demokrat dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sepakat untuk berlanjut hingga pilkada mendatang. Dua parpol yang tergabung dalam Fraksi Demokrat Nurani Rakyat (FDNR) itu mendekati Partai Amanat Nasional (PAN). Tanpa menafikkan gagasan koalisi itu, Sekretataris DPC Partai Demokrat Solo, Supriyanto, memilih mengubah format koalisi.

“Format kami yang diubah dalam konteks pilkada langsung atau pun pilkada lewat DPRD. Syarat yang kami susun itu akan ditawarkan kepada semua parpol dan publik. Bagaimana respons mereka akan terlihat. Kami ingin balon wali kota dan wawali ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjawab tantangan Solo ke depan,” terang dia saat dihubungi, Sabtu, 27 September 2014.
Rakyat Dilibatkan
Supriyanto akan membuat minimal tujuh syarat. Ketujuh syarat itu juga akan ditawarkan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemilik kursi terbesar di DPRD Solo. “Kami akan mendiskusikan tujuh syarat itu sesuai dengan kriteria yang ditentukan kalangan akademisi dan tokoh masyarakat lainnya. Meskipun nantinya pilkada lewat DPRD, masyarakat masih punya peluang terlibat langsung,” tegasnya.
Supriyanto berpendapat dalam pilkada mendatang lebih mempertimbangkan aspek kualitas pemimpin, bukan elektabilitas figur. “Penentuan syarat itu berdasarkan pertimbangan akademis, pengalaman, dan elektabilitas. Bukan elektabilitas figur yang ditonjolkan, tetapi lebih pada kualitas proses demokrasi ini,” pungkasnya. (ok)


Jumat, 26 September 2014

Tepis Calon Boneka, PAN-Gerindra Perkuat Koalisi Merah Putih



SOLO—Kendati pesimistis melawan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dua partai Partai Amanat Nasional (PAN) Solo dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Solo tetap merapatkan barisan dalam Koalisi Merah Putih untuk menghadapi pesta pemilihan kepala daerah (pilkada) Solo 2015.
Koalisi itu tetap dilakukan walaupun pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada tak menguntungkan bagi dua partai politik tersebut karena PDIP Solo memiliki kekuatan 53% dari 45 anggota DPRD Solo.
Ketua DPD PAN Solo, Umar Hasyim, saat ditemui, Jumat, 26 September 2015, mengatakan DPD PAN menghormati keputusan DPP PAN yang mendukung pelaksanaan pilkada lewat DPRD. “PAN di Solo memang tidak diuntungkan dengan pengesahan RUU Pilkada. Posisi PDIP dengan kursi terbanyak (24 kursi) di DPRD Solo tinggal ketok palu pada pilkada Solo 2015. Siapa pun calon PDIP pasti jadi Wali Kota Solo. Apa ada kader PDIP yang berani membelot terhadap keputusan DPC PDIP yang kini mengusung FX Hadi Rudyatmo?” cetus Umar.
Umar tak ingin kekhawatiran muncul pasangan calon boneka terjadi pada pilkada Solo 2015. Kekhawatiran itu akan terjadi ketika partai politik di luar PDIP tidak bergerak. Atas dasar itu, Umar bersiap untuk merapatkan barisan dalam Koalisi Merah Putih. “Walaupun koalisi itu terbentuk tetap tidak bisa menjadi kompetitor bagi PDIP. Siapa yang berani berkompetisi dengan PDIP?,” ujar dia.

Wakil Ketua DPC Partai Gerindra Solo, M. Irawan Purnomo, juga optimistis Koalisi Merah Putih itu akan kembali terwujud di Solo sebagai tindak lanjut atas koalisi di tingkat nasional. Gerindra sudah berkomunikasi dengan anggota Koalisi Merah Putih, seperti PAN dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Solo
Sekretaris DPC PDIP Solo, Teguh Prakosa, menegaskan PDIP konsisten mengusung calon tunggal yakni FX Hadi Rudyatmo dalam pilkada Solo 2015. Menurut Teguh, hanya partai besar yang diuntungkan dan ada partai yang tidak diuntungkan ketika RUU Pilkada disahkan. Dia tidak bicara soal untung dan rugi dalam menjalankan konstitusi yang disahkan DPR. “Kami belum bersikap dan masih menunggu instruksi dari DPP. Pascapengesahan RUU Pilkada itu pasti akan ada surat dari DPP,” tambah Teguh. (ok)

PENGESAHAN RUU PILKADA: KPU dan Panwaslu Kena Dampak


SOLO—Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membawa dampak terhadap penyelenggara pemilu di tingkat daerah. Seperti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo dipastikan tak memiliki pekerjaan dalam pilkada Solo 2015 karena pilkada diadakan lewat DPRD Solo. Demikian pula, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Solo pun otomatis hilang dari peredaran karena tak memiliki peran dalam pengawasan proses pilkada.
Komisioner Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu KPU Solo, Pata Hindra Aryanto, Jumat, 26 September 2014, mengungkapkan KPU memilih tidak bersikap. Menurut dia, KPU menunggu RUU Pilkada itu diundangkan dan menunggu petunjuk lebih lanjut dari KPU pusat. Padahal KPU Solo sudah menyiapkan tahapan pilkada Solo 2015, namun KPU belum mencairkan anggaran pilkada senilai Rp2,4 miliar.
“Pengesahan RUU Pilkada itu otomatis berpengaruh pada pelaksanaan demokrasi di daerah. Secara kelembagaan, KPU tetap dan mandiri. Hanya struktur kelembagaan di bawah KPU yang hilang, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan(PPK) dan Panitia Pemungutan Suara(PPS). Sepertinya, Panwaslu juga tidak ada,” kata Pata.
Dia menegaskan tugas KPU hanya menyelenggara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Kendati demikian, Pata menyatakan KPU masih memiliki tugas melakukan sosialisasi demokrasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. “Contohnya melakukan pendidikan politik kepada para siswa dalam proses pemilihan ketua OSIS atau kegiatan lainnya,” tambahnya.
Ketua Panwaslu Solo, Sri Sumanta, berharap masih ada proses hukum berikutnya pascapengesahan RUU Pilkada itu, yaitu yudicial review (YR). Dia mendengar ada banyak lembaga yang mengajukan YR, seperti Perkumpulan Masyarakat Pemilu dan Demokrasi serta dari partai politik.
“Ada tiga lembaga yang siap-siap melakukan YR ke Mahkamah Konstitusi [MK]. Jumlah lembaga itu terus bertambah. Selama YR tidak dilakukan Panwaslu otomatis hilang karena keberadaan Panwaslu tidak efektif,” ujar dia.
Panwaslu ak memiliki peran apa pun dalam pengawasan pilkada di DPRD. Proses pemilihan itu ada ditangan 45 wakil rakyat, termasuk panitia penyelenggara. “Para calon hanya menyampaikan visi dan misi di hadapan para anggotaDPRD, tidak perlu kampanye,” tutur dia. (ok)


Minggu, 14 September 2014

Deparpolisasi Transisi Demokrasi


Demokrasi di Indonesia tumbuh berkembang menjadi lebih dewasa. Proses transisi demokrasi hampir selalu diwarnai dengan diskursus perubahan sistem demokrasi sejak negara ini dilahirkan. Sejak Pemilu 1955, sistem multipartai proporsional dianggap paling cocok, kecuali selama 32 tahun di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru. Gerakan deparpolisasi justru dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang menginginkan sebuah hegemoni partai atau partai tunggal. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya menjadi partai bonsai yang lemah dan tak berdaya.
Sejarawan asal Australia, Lance Castles (1999), menyatakan konsep partai dan sistem kepartaian sebagai unsur esensial negara sebenarnya berasal dari Barat, yakni mengadopsi sistem dua partai di Inggris. Sistem dua partai di Inggris banyak ditiru negara lain dan biasanya berlaku sistem pemilu distrik dengan tingkat integrasi nasional yang tinggi, seperti Amerika Serikat, Autralia, Jamaica, Malta, dan Bangladesh. Di India semula juga meniru sistem distrik dengan dua partai, namun akhirnya melahirkan sistem multipartai. Sistem multipartai lebih berkembang di luar dunia Anglo-saxon, termasuk di Indonesia.
Castles membuat tipologi sistem partai menjadi empat, yakni (1) sistem dua partai yang selalu memakai sistem distrik, (2) sistem multipartai yang biasanya proporsional dengan tingkat integrasi rendah, sehingga distrik cenderung memilih memilih partai sesuai dengan loyalitas suku dan agama, (3) sistem partai tunggal di mana tidak terjadi kompetisi damai dalam merebut kekuasaan, dan (4) sistem partai dominan berkepanjangan yang tidak memungkinkan terjadi alternasi partai besar.
Tipologi kedua berkembang di Indonesia secara lebih baik sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Transisi demokrasi di era reformasi seolah ingin mengembalikan romatisme sejarah Pemilu 1955 yang diklaim banyak kalangan sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Euforia partai politik (parpol) kembali menggeliat. Semua elemen ramai-ramai mendirikan parpol dengan dalih bisa berperan dalam proses pergantian kekuasaan. Pemilu demi pemilu dievaluasi dan dikritisi. Pertumbuhan parpol dibatasi dengan sistem elektoral. Partai-partai gurem pun bertumbangan karena tidak mampu bersaing dengan parpol yang memiliki basis massa yang kuat. Angka 48 parpol pada Pemilu 1999 berkurang secara bertahap hingga akhirnya hanya tersisa 12 parpol pada Pemilu 2014.
Pemilu 2014 menjadi tonggak kedua dalam perkembangan demokrasi setelah euforia parpol berlalu. Pemilihan presiden (pilpres) 2014 memunculkan fenomena yang cenderung menunjukkan gerakan deparpolisasi ala baru. Sebuah evolusi gerakan deparpolisasi rezim Orde Baru. Meminjam istilah yang populer di Mahmakah Konstitusi (MK), gerakan deparpolisasi modern ini dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Gerakan ini bukan dilakukan oleh penguasa tunggal, tetapi dilakukan oleh penguasa dalam arti yang sebenarnya (penguasa jamak), yakni rakyat.
Partai sebenarnya sangat bermanfaat sebagai sarana rekrutmen, oposisi, kompetisi dan alternasi dalam negara modern yang demokratis, tetapi menjadi kutukan bagi masyarakat bila partai menjadi alat untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan penguasa (totalitarianism). Persepsi yang disampaikan Castles itu kemungkinan yang menjadi awal pemikiran tumbuhnya deparpolisasi di Indonesia. Para pegiat demokrasi dan para aktivis partai yang terhambat karier politiknya berlomba-lomba membuat gerakan dengan mengatasnamakan rakyat yang dikenal dengan istilah sukarelawan. Mereka mengorganisasi diri dan kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang nyaris sama, menjadi pemenang dalam kompetisi pilpres. Mereka tidak sepenuhnya percaya dengan mesin parpol yang cenderung oportunis dan pragmatis.
Embrio gerakan deparpolisasi ini sebenarnya mulai menggejala pada pilpres sebelumnya, tetapi belum masif, terstruktur, dan sistematis. Sukarelawan politik tersebut mengklaim sebagai mesin politik di luar partai. Ironisnya, sukarelawan-sukarelawan itu mendapatkan restu parpol demi merebut kekuasaan dalam momentum transisi demokrasi. Kini, sukarelawan politik itu menjadi bumerang bagi parpol karena peran mereka lebih dominan dalam mengarahkan kebijakan politik pemerintahan baru.

Fungsi Kontrol Alternatif
Gerakan deparpolisasi ternyata tak berhenti pada momentum pilpres tetapi terus bergerak menjalankan fungsi kontrol alternatif terhadap negara yang didukung media massa. Dualisme pilihan sistem demokrasi dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi momentum kedua bagi sepak terjang gerakan politik baru ini. Mereka berupaya untuk melawan Koalisi Merah Putih yang dipastikan menang dalam voting di DPR dalam mengambil keputusan pilihan pilkada langsung atau pilkada lewat DPRD.
Gerakan masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan dengan model-model gerakan politik sebelumnya. Gabungan kepala daerah yang menyatakan sikap menolak sistem pilkada lewat DPRD menjadi bukti gerakan deparpolisasi atas nama kepentingan rakyat. Manuver-manuver politik yang dilakukan para pejabat politis juga menunjukkan sikap ahistoris terhadap peranan parpol. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hengkang dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) lantaran tidak setuju dengan sistem pilkada lewat DPRD secara tidak sadar juga melakukan deparpolisasi. Keberanian Ahok lepas dari cengkeraman parpol penggagas Koalisi Merah Putih itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat, terutama di dunia maya. Gerakan itu diikuti kepala daerah-kepala daerah lainnya di Jawa dan luar Jawa. Belakangan pemerintah yang mengusulkan RUU Pilkada pun terbawa arus untuk mendukung gerakan deparpolisasi itu.
Parpol tidak bisa berbuat banyak untuk menekan gerakan rakyat karena dibatasi dengan regulasi. Sementara gerakan deparpolisasi yang cenderung mengikis peran parpol lebih leluasa karena tidak ada batasan yuridis dalam menekan penguasa (parpol). Bila gerakan ini berkembang akan menjadi kekuatan baru dalam ruang demokrasi di Indonesia. Deparpolisasi akan menjadi gerakan oposisi murni terhadap penguasa yang berdiri di atas kaki parpol. Deparpolisasi akan menjadi alat kontrol politik yang efektif manakala dilakukan secara murni, objektif, dan benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan menjadi boneka penguasa.


Kamis, 28 Agustus 2014

Profil kami

Konten blog ini merupakan analisis terhadap kondisi yang menghangat di daerah. Informasi yang disajikan dalam blog ini diambilkan dari wawancara narasumber langsung yang dipadukan dengan informasi dari media online. Blog ini dikelola oleh penulis lepas.
Hubungan kami:
pilkada.lokal@gmail.com

DAMPAK PEMBATASAN BBM, RATUSAN PETANI ANTRE DI SPBU

Puluhan warga antre membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014. Mereka rela antre jeriken selama enam jam di SPBU tersebut karena adanya kebijakan pembatasan BBM dari pemerintah pusat. Mereka membeli BBM dengan jeriken hanya untuk mengisi pompa air untuk menyedot air untuk kebutuhan pertanian.

Antrean warga mengular saat membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014. 

Jadwal Pilkada Solo 2015

Logo: Komisi Pemilihan Umum

Tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Solo 2015 bakal dimulai pada Oktober 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo sudah menyusun tahapan Pilkada 2015 mulai dari pemutakhiran data pemilih, pembentukan lembaga penyelenggara pemilu, dan sosialisasi.
Ketua KPU Solo Agus Sulistyo sudah membuat rencana kegiatan berdasarkan alokasi anggaran Rp2,4 miliar dari APBD Perubahan 2014. Semula KPU merencanakan kebutuhan anggaran untuk tahapan pilkada mencapai Rp3 miliar sekian. Namun dalam proses pembahasan anggaran di Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), usulan kebutuhan anggaran tersebut dipotong sampai Rp800 jutaan. Pemangkasan anggaran Pilkada tersebut segera disiasati KPU dengan menyusun rencana kegiatan anggaran (RKA).
Dalam pembahasan di Badan Anggaran (Banggar) DPRD Solo, usulan anggaran Pilkada kembali dipangkas sampai Rp800 jutaan. Pemangkasan anggaran di DPRD didasarkan pada tahapan Pilkada yang belum masif. Namun pada menit terakhir (last menute), Banggar DPRD Solo memutuskan untuk menambah anggaran lagi dengan mengambilkan dana dari perjalanan dinas ke luar negeri yang tidak mungkin dilaksanakan pada tahun ini.

Senin, 25 Agustus 2014

Apa Kabar Pilkada Solo

Salah satu contoh atribut kampanye Jokowi-Rudy saat kampanye dalam Pilkada Solo beberapa tahun silam. Foto diambil dari id.wikipedia.com.
Tahun 2015 menjadi momentum perubahan bagi Kota Solo, sebuah kotak kecil yang menjadi salah satu barometer ekonomi Jawa Tengah. Tahun itulah Kota Bengawan itu bakal menggelar pesta demokrasi tahunan yang dikenal dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Sebuah perhelatan pergantian kekuasaan secara konstitusional yang dilindungi UU.
Sesuai dengan semangat UU Otonomi Daerah, penyelenggaraan Pilkada menjadi beban APBD daerah setempat. Dalam konteks Solo, pembiayaan pesta rakyat itu pun ditanggung APBD Kota Solo selama dua tahap. Tahapan pra-Pilkada dimulai pada Oktober 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo pun sudah menyusun agenda untuk rekrutmen penyelenggara pemilu dan tahapan pemutakhiran data, serta sosialisasi-sosialisasi yang menelan anggaran sampai Rp2,4 miliar. Tahapan kedua dilaksanakan dengan alokasi anggaran APBD 2015 yang diprediksi mencapai Rp5 miliar. Sungguh pesta tahunan itu pun menghabiskan uang rakyat yang tidak sedikit.
Pejalanan tahapan itu terhitung cepat karena praktis sekitar 7-8 bulan karena Pilkada 2015 kemungkinan akan digelar pada awal April 2015. Sejak Agustus 2015, belum satu nama calon kepala daerah pun yang muncul. Bahkan para partai politik (Parpol) belum berani menunjukkan siungnya. Hasil pemilu legislatif (Pileg) 2014, ternyata hanya menghasilkan delapan Parpol yang mampu menduduki kursi di DPRD Solo. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi partai dengan perolehan kursi terbanyak dalam Pileg. Lihat komposisi perolehan kursi di bawah ini!
PDIP 24 kursi
PKS 5 kursi
PAN 4 kursi
Golkar 4 kursi
Demokrat 3 kursi
Gerindra 3 kursi
PPP 1 kursi
Hanura 1 kursi
Berdasarkan komposisi Parpol tersebut, hanya PDIP yang bisa mengusung pasangan calon secara mandiri karena memenuhi ketentuan dalam UU Pemerintahan Daerah. UU itu mensyaratkan hanya Parpol yang memiliki 15% dari jumlah kursi di DPRD atau 15% dari jumlah perolehan suara sah di Pileg berhak mengajukan pasangan calon secara mandiri. Dengan demikian Parpol selain PDIP harus berkoalisi untuk bisa mengusung calon sendiri.
Dari sekian banyak media cetak dan elektronik, hanya Solopos yang berani memunculkan banyak tokoh potensial untuk menjadi pilihan rakyat. Harian Joglosemar pun hanya beberap nama yang disebut dan cenderung menonjolkan figur F.X. Hadi Rudyatmo yang kini masih menjabat Wali Kota Solo. Kedudukan Rudy, demikian sapaan Wali Kota itu, bukan dari hasil Pilkada, tetapi hanya menggantikan posisi Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta lewat Pilkada DKI.
Bila melihat flashback ke belakang, duet Jokowi-Rudy mampu bertahan di dua Pilkada Solo, yakni Pilkada 2005 dan Pilkada 2010. Sosok Jokowi yang paling menentukan atas kemenangan PDIP dalam dua Pilkada tersebut. Bahkan pada Pilkada 2010, pasangan Jokowi-Rudy memperoleh suara domian dan mutlak karena hampir mendekati 90%. Pertanyaannya, akankan muncul Jokowi jilid II di Solo? Mampunya Rudy kembali memimpin Solo dan berjiwa inovatif seperti Jokowi? Akankan muncul figur baru yang membawa perubahan Solo lebih maju, apalagi dengan keberadaan Jokowi sebagai presiden terpilih?
Kemajuan pembangunan di Solo amat sangat tergantung pada kiprah PDIP. Ada tiga indikator yang bisa diambil dalam mengukur kemajuan pembangunan Solo lima tahun ke depan. Pertama, keberadaan Jokowi yang asli Solo ternyata mampu menjadi orang nomor wahid di Republik Indonesia ini. Otomatis efek Jokowi itu akan membawa perubahan terhadap pembangunan Solo. Kedua, keberhasilan PDIP yang mampu memiliki 24 kursi di parlemen (53%). Fraksi terbesar yang posisi 50% lebih itu mampu mengambil kebijakan prorakyat dengan mudah, bahkan ekstrimnya bisa memandang sebelah mata partai lainnya yang secara kumulatif hanya 47%. Ketiga, indikator terakhir itu akan ditentukan dari hasil Pilkada 2015. Jika PDIP mampu membuktikan terhadap rakyat atas eksistensi PDIP di Solo dengan memiliki sosok Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Sinergi tiga kekuatan PDIP itu akan mampu mewujudkan Solo sebagai kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Ide-ide kreatif yang dirintis Jokowi pada periode I dan II akan bisa terwujud dengan mudah dengan goodwill pemerintahan di bawah kendali Jokowi sendiri. Bagaimana hasilnya, ya, ditunggu saja dan mari kita buktikan.

Rekomendasi DPP Syarat Mutlak Rudy Maju Pilkada 2015

Logo Pilkada

Berbagai media massa lokal beberapa kali menyebut F.X. Hadi Rudyatmo bakal bersaing dalam bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Rudy yang menjadi panggilan akrab Wali Kota Solo tentunya harus mendapatkan rekomendasi dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri. Maklumnya mekanisme di internal PDIP wajib hukumnya tegal lurus dari DPP atau Ketua Umum.
Ketika Rudy maju pun tentu tidak bisa hanya sendirian, tetapi membutuhkan figur pendamping yang bisa mengangkat popularitas menjelang Pilkada 2015. Waktu yang tersisa kurang dari setahun menuntut munculnya banyak spekulasi memunculkan bakal calon (balon) kepala daerah. Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, Drajad Tri Kartono, saat berbincang dengan para wartawan, Jumat, 22 Agustus 2014, memberi analisis yang cukup berbobot terkait dengan dinamika politik yang kemungkinan terjadi pada Pilkada 2015. Analisis Drajad ini didasarkan pada pengalaman empiris pada Pilkada-Pilkada Solo sebelumnya (Pilkada 2005, Pilkada 2010). Drajad menggaris bawahi sosok JokoWidodo (Jokowi) sebagai figur inovatif yang paling tepat untuk mendampingi Rudy yang dianggap memiliki kemampuan dalam manajemen sosial.
Sosok seperti Jokowi inilah yang dibutuhkan Rudy dan Solo untuk masa-masa mendatang. “Pak Rudy sangat dibutuhkan di Solo ini. Beliau berhasil menjaga Solo tenang. Pak Rudy memiliki manajemen sosial yang luar biasa sehingga siklus konflik sosial 18 tahunan yang diprediksikan Pak Sudarmono tidak meledak di kota ini. Konflik yang muncul hanya di internal keraton saja,” kata Drajad.
Rudy harus mencari pendamping yang mumpuni dengan manajemen produk atau manajemen kota. Isu-isu agama masih sensitif di Kota Berseri dan harus menjadi pertimbangan siapa pun yang ingin maju Pilkada 2015, termasuk Rudy sendiri. Siapa pun balonnya harus mampu mengakomodasi perwakilan dari partai-partai yang berasaskan agama atau perseorangan yang bisa mewakili elemen yang ada, seperti figur Jokowi. Duet Jokowi-Rudy pada Pilkada 2005 dan Pilkada 2010 mampu mewakili semua elemen di Kota Bengawan ini.


Parpol bersiap-siap sambut Pilkada 2015

Dinamika politik di Solo terus menghangat mengingat tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 dimulai Oktober 2014. Sejumlah partai politik (Parpol) tentunya mulai bersiap-siap untuk menjalin komunikasi, baik di internal maupun eksternal. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersiap membentuk Tim Optimalisasi Musyarakah (TOM), sebuah tim yang dibentuk untuk melakukan penjajakan koalisi dan penjajakan nama-nama yang muncul dari hasil survei internal.
Dua orang petugas Satpol PP menertibkan atribut kampanye milik pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) tertentu di wilayah Banjarsari, Solo, Juni 2014 lalu.
Ketua DPD PKS Solo, Sugeng Riyanto, masih membuka peluang koalisi dengan parpol mana pun, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, Gerindra, dan partai lainnya. Banyak peluang tokoh yang bakal muncul dalam bursa Pilkada 2015.

Daftar perolehan suara dan kursi parpol
No   Parpol               Perolehan Suara    Kursi
1      PKS                    19.562 suara       5 kursi
2      PDIP                 152.250 suara     24 kursi
3      Golkar                 19.876 suara       4 kursi
4      Gerindra              22.102 suara       3 kursi
5      Demokrat            15.215 suara       3 kursi
6      PAN                   22.716 suara       4 kursi
7      PPP                    10.662 susra       1 kursi
8      Hanura                14.647 suara       1 kursi
Keterangan:
Jumlah kursi        :45 kursi
Jumlah suara sah : 297.073 suara
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo.

Hasil Pileg 2014 menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan Pilkada di Solo. Termasuk hasil pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) juga menjadi dasar dalam perhitungan politik Pilkada 2015, mengingat salah satu capresnya, yakni Joko Widodo (Jokowi) berasal dari Kota Solo. Kota Berseri ini tentunya membutuhkan figur seperti Jokowi yang dikenal sebagai tokoh inovatif. Gebrakan-gebrakan pembangunan selama memimpin di Solo menjadi indikator keberhasilan Jokowi. Maka tidak mustahil bila dalam Pilpres 2014, Jokowi memiliki perolehan suara 84%.
Bagaimana kriteria calon Wali Kota Solo, idealnya merujuk pada kriteria yang ada pada diri Jokowi. Kriteria itu di antaranya;
1. Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Amanah
3. Lebih baik bukan orang dari partai politik (parpol), melainkan dari kalangan profesional atau pengusaha.
4. Memiliki kredibilitas, capabilitas, dan berjiwa negarawan.
5. Memiliki kemampuan secara finansial dan mapan secara ekonomi.
6. Memiliki elektabilitas yang memadai.