Demokrasi di Indonesia tumbuh berkembang menjadi lebih
dewasa. Proses transisi demokrasi hampir selalu diwarnai dengan diskursus
perubahan sistem demokrasi sejak negara ini dilahirkan. Sejak Pemilu 1955,
sistem multipartai proporsional dianggap paling cocok, kecuali selama 32 tahun
di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru. Gerakan deparpolisasi justru
dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang menginginkan sebuah hegemoni partai atau
partai tunggal. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) hanya menjadi partai bonsai yang lemah dan tak
berdaya.
Sejarawan asal Australia, Lance Castles (1999), menyatakan
konsep partai dan sistem kepartaian sebagai unsur esensial negara sebenarnya
berasal dari Barat, yakni mengadopsi sistem dua partai di Inggris. Sistem dua
partai di Inggris banyak ditiru negara lain dan biasanya berlaku sistem pemilu
distrik dengan tingkat integrasi nasional yang tinggi, seperti Amerika Serikat,
Autralia, Jamaica, Malta, dan Bangladesh. Di India semula juga meniru sistem
distrik dengan dua partai, namun akhirnya melahirkan sistem multipartai. Sistem
multipartai lebih berkembang di luar dunia Anglo-saxon, termasuk di Indonesia.
Castles membuat tipologi sistem partai menjadi empat, yakni
(1) sistem dua partai yang selalu memakai sistem distrik, (2) sistem
multipartai yang biasanya proporsional dengan tingkat integrasi rendah,
sehingga distrik cenderung memilih memilih partai sesuai dengan loyalitas suku
dan agama, (3) sistem partai tunggal di mana tidak terjadi kompetisi damai
dalam merebut kekuasaan, dan (4) sistem partai dominan berkepanjangan yang
tidak memungkinkan terjadi alternasi partai besar.
Tipologi kedua berkembang di Indonesia secara lebih baik
sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Transisi demokrasi di era reformasi seolah
ingin mengembalikan romatisme sejarah Pemilu 1955 yang diklaim banyak kalangan
sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Euforia
partai politik (parpol) kembali menggeliat. Semua elemen ramai-ramai mendirikan
parpol dengan dalih bisa berperan dalam proses pergantian kekuasaan. Pemilu
demi pemilu dievaluasi dan dikritisi. Pertumbuhan parpol dibatasi dengan sistem
elektoral. Partai-partai gurem pun bertumbangan karena tidak mampu bersaing
dengan parpol yang memiliki basis massa yang kuat. Angka 48 parpol pada Pemilu
1999 berkurang secara bertahap hingga akhirnya hanya tersisa 12 parpol pada
Pemilu 2014.
Pemilu 2014 menjadi tonggak kedua dalam perkembangan
demokrasi setelah euforia parpol berlalu. Pemilihan presiden (pilpres) 2014
memunculkan fenomena yang cenderung menunjukkan gerakan deparpolisasi ala baru.
Sebuah evolusi gerakan deparpolisasi rezim Orde Baru. Meminjam istilah yang
populer di Mahmakah Konstitusi (MK), gerakan deparpolisasi modern ini dilakukan
secara masif, terstruktur, dan sistematis. Gerakan ini bukan dilakukan oleh
penguasa tunggal, tetapi dilakukan oleh penguasa dalam arti yang sebenarnya
(penguasa jamak), yakni rakyat.
Partai sebenarnya sangat bermanfaat sebagai sarana
rekrutmen, oposisi, kompetisi dan alternasi dalam negara modern yang
demokratis, tetapi menjadi kutukan bagi masyarakat bila partai menjadi alat
untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan penguasa (totalitarianism). Persepsi yang disampaikan Castles itu kemungkinan
yang menjadi awal pemikiran tumbuhnya deparpolisasi di Indonesia. Para pegiat
demokrasi dan para aktivis partai yang terhambat karier politiknya
berlomba-lomba membuat gerakan dengan mengatasnamakan rakyat yang dikenal
dengan istilah sukarelawan. Mereka mengorganisasi diri dan kelompok-kelompok dengan
visi dan misi yang nyaris sama, menjadi pemenang dalam kompetisi pilpres. Mereka
tidak sepenuhnya percaya dengan mesin parpol yang cenderung oportunis dan
pragmatis.
Embrio gerakan deparpolisasi ini sebenarnya mulai menggejala
pada pilpres sebelumnya, tetapi belum masif, terstruktur, dan sistematis.
Sukarelawan politik tersebut mengklaim sebagai mesin politik di luar partai.
Ironisnya, sukarelawan-sukarelawan itu mendapatkan restu parpol demi merebut
kekuasaan dalam momentum transisi demokrasi. Kini, sukarelawan politik itu menjadi
bumerang bagi parpol karena peran mereka lebih dominan dalam mengarahkan
kebijakan politik pemerintahan baru.
Fungsi Kontrol
Alternatif
Gerakan deparpolisasi ternyata tak berhenti pada momentum
pilpres tetapi terus bergerak menjalankan fungsi kontrol alternatif terhadap
negara yang didukung media massa. Dualisme pilihan sistem demokrasi dalam
Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi
momentum kedua bagi sepak terjang gerakan politik baru ini. Mereka berupaya
untuk melawan Koalisi Merah Putih yang dipastikan menang dalam voting di DPR
dalam mengambil keputusan pilihan pilkada langsung atau pilkada lewat DPRD.
Gerakan masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan dengan
model-model gerakan politik sebelumnya. Gabungan kepala daerah yang menyatakan
sikap menolak sistem pilkada lewat DPRD menjadi bukti gerakan deparpolisasi
atas nama kepentingan rakyat. Manuver-manuver politik yang dilakukan para
pejabat politis juga menunjukkan sikap ahistoris terhadap peranan parpol. Wakil
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hengkang dari Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) lantaran tidak setuju dengan sistem pilkada
lewat DPRD secara tidak sadar juga melakukan deparpolisasi. Keberanian Ahok
lepas dari cengkeraman parpol penggagas Koalisi Merah Putih itu mendapat
sambutan luar biasa dari masyarakat, terutama di dunia maya. Gerakan itu
diikuti kepala daerah-kepala daerah lainnya di Jawa dan luar Jawa. Belakangan
pemerintah yang mengusulkan RUU Pilkada pun terbawa arus untuk mendukung
gerakan deparpolisasi itu.
Parpol tidak bisa berbuat banyak untuk menekan gerakan
rakyat karena dibatasi dengan regulasi. Sementara gerakan deparpolisasi yang
cenderung mengikis peran parpol lebih leluasa karena tidak ada batasan yuridis
dalam menekan penguasa (parpol). Bila gerakan ini berkembang akan menjadi
kekuatan baru dalam ruang demokrasi di Indonesia. Deparpolisasi akan menjadi
gerakan oposisi murni terhadap penguasa yang berdiri di atas kaki parpol.
Deparpolisasi akan menjadi alat kontrol politik yang efektif manakala dilakukan
secara murni, objektif, dan benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan menjadi
boneka penguasa.
0 komentar:
Posting Komentar