Minggu, 14 September 2014

Deparpolisasi Transisi Demokrasi


Demokrasi di Indonesia tumbuh berkembang menjadi lebih dewasa. Proses transisi demokrasi hampir selalu diwarnai dengan diskursus perubahan sistem demokrasi sejak negara ini dilahirkan. Sejak Pemilu 1955, sistem multipartai proporsional dianggap paling cocok, kecuali selama 32 tahun di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru. Gerakan deparpolisasi justru dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang menginginkan sebuah hegemoni partai atau partai tunggal. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya menjadi partai bonsai yang lemah dan tak berdaya.
Sejarawan asal Australia, Lance Castles (1999), menyatakan konsep partai dan sistem kepartaian sebagai unsur esensial negara sebenarnya berasal dari Barat, yakni mengadopsi sistem dua partai di Inggris. Sistem dua partai di Inggris banyak ditiru negara lain dan biasanya berlaku sistem pemilu distrik dengan tingkat integrasi nasional yang tinggi, seperti Amerika Serikat, Autralia, Jamaica, Malta, dan Bangladesh. Di India semula juga meniru sistem distrik dengan dua partai, namun akhirnya melahirkan sistem multipartai. Sistem multipartai lebih berkembang di luar dunia Anglo-saxon, termasuk di Indonesia.
Castles membuat tipologi sistem partai menjadi empat, yakni (1) sistem dua partai yang selalu memakai sistem distrik, (2) sistem multipartai yang biasanya proporsional dengan tingkat integrasi rendah, sehingga distrik cenderung memilih memilih partai sesuai dengan loyalitas suku dan agama, (3) sistem partai tunggal di mana tidak terjadi kompetisi damai dalam merebut kekuasaan, dan (4) sistem partai dominan berkepanjangan yang tidak memungkinkan terjadi alternasi partai besar.
Tipologi kedua berkembang di Indonesia secara lebih baik sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Transisi demokrasi di era reformasi seolah ingin mengembalikan romatisme sejarah Pemilu 1955 yang diklaim banyak kalangan sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Euforia partai politik (parpol) kembali menggeliat. Semua elemen ramai-ramai mendirikan parpol dengan dalih bisa berperan dalam proses pergantian kekuasaan. Pemilu demi pemilu dievaluasi dan dikritisi. Pertumbuhan parpol dibatasi dengan sistem elektoral. Partai-partai gurem pun bertumbangan karena tidak mampu bersaing dengan parpol yang memiliki basis massa yang kuat. Angka 48 parpol pada Pemilu 1999 berkurang secara bertahap hingga akhirnya hanya tersisa 12 parpol pada Pemilu 2014.
Pemilu 2014 menjadi tonggak kedua dalam perkembangan demokrasi setelah euforia parpol berlalu. Pemilihan presiden (pilpres) 2014 memunculkan fenomena yang cenderung menunjukkan gerakan deparpolisasi ala baru. Sebuah evolusi gerakan deparpolisasi rezim Orde Baru. Meminjam istilah yang populer di Mahmakah Konstitusi (MK), gerakan deparpolisasi modern ini dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Gerakan ini bukan dilakukan oleh penguasa tunggal, tetapi dilakukan oleh penguasa dalam arti yang sebenarnya (penguasa jamak), yakni rakyat.
Partai sebenarnya sangat bermanfaat sebagai sarana rekrutmen, oposisi, kompetisi dan alternasi dalam negara modern yang demokratis, tetapi menjadi kutukan bagi masyarakat bila partai menjadi alat untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan penguasa (totalitarianism). Persepsi yang disampaikan Castles itu kemungkinan yang menjadi awal pemikiran tumbuhnya deparpolisasi di Indonesia. Para pegiat demokrasi dan para aktivis partai yang terhambat karier politiknya berlomba-lomba membuat gerakan dengan mengatasnamakan rakyat yang dikenal dengan istilah sukarelawan. Mereka mengorganisasi diri dan kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang nyaris sama, menjadi pemenang dalam kompetisi pilpres. Mereka tidak sepenuhnya percaya dengan mesin parpol yang cenderung oportunis dan pragmatis.
Embrio gerakan deparpolisasi ini sebenarnya mulai menggejala pada pilpres sebelumnya, tetapi belum masif, terstruktur, dan sistematis. Sukarelawan politik tersebut mengklaim sebagai mesin politik di luar partai. Ironisnya, sukarelawan-sukarelawan itu mendapatkan restu parpol demi merebut kekuasaan dalam momentum transisi demokrasi. Kini, sukarelawan politik itu menjadi bumerang bagi parpol karena peran mereka lebih dominan dalam mengarahkan kebijakan politik pemerintahan baru.

Fungsi Kontrol Alternatif
Gerakan deparpolisasi ternyata tak berhenti pada momentum pilpres tetapi terus bergerak menjalankan fungsi kontrol alternatif terhadap negara yang didukung media massa. Dualisme pilihan sistem demokrasi dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi momentum kedua bagi sepak terjang gerakan politik baru ini. Mereka berupaya untuk melawan Koalisi Merah Putih yang dipastikan menang dalam voting di DPR dalam mengambil keputusan pilihan pilkada langsung atau pilkada lewat DPRD.
Gerakan masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan dengan model-model gerakan politik sebelumnya. Gabungan kepala daerah yang menyatakan sikap menolak sistem pilkada lewat DPRD menjadi bukti gerakan deparpolisasi atas nama kepentingan rakyat. Manuver-manuver politik yang dilakukan para pejabat politis juga menunjukkan sikap ahistoris terhadap peranan parpol. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hengkang dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) lantaran tidak setuju dengan sistem pilkada lewat DPRD secara tidak sadar juga melakukan deparpolisasi. Keberanian Ahok lepas dari cengkeraman parpol penggagas Koalisi Merah Putih itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat, terutama di dunia maya. Gerakan itu diikuti kepala daerah-kepala daerah lainnya di Jawa dan luar Jawa. Belakangan pemerintah yang mengusulkan RUU Pilkada pun terbawa arus untuk mendukung gerakan deparpolisasi itu.
Parpol tidak bisa berbuat banyak untuk menekan gerakan rakyat karena dibatasi dengan regulasi. Sementara gerakan deparpolisasi yang cenderung mengikis peran parpol lebih leluasa karena tidak ada batasan yuridis dalam menekan penguasa (parpol). Bila gerakan ini berkembang akan menjadi kekuatan baru dalam ruang demokrasi di Indonesia. Deparpolisasi akan menjadi gerakan oposisi murni terhadap penguasa yang berdiri di atas kaki parpol. Deparpolisasi akan menjadi alat kontrol politik yang efektif manakala dilakukan secara murni, objektif, dan benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan menjadi boneka penguasa.


0 komentar:

Posting Komentar