PKS Solo Jaring Balon Internal

Tahun 2015,Kota Bengawan itu bakal menggelar pesta demokrasi tahunan yang dikenal dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). PKS bersiap-siap mengusung balon internal dengan melakukan penjaringan kader internal DPD PKS Kota Solo

Jadwal Tahapan Pilkada Solo 2015

Tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Solo 2015 bakal dimulai pada Oktober 2015. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo sudah menyusun tahapan Pilkada 2015 mulai dari pemutakhiran data pemilih, pembentukan lembaga penyelenggara pemilu, dan sosialisasi

Antrean Petani Beli BBM

Puluhan warga antre membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014. Mereka rela antre jeriken selama enam jam di SPBU tersebut karena adanya kebijakan pembatasan BBM dari pemerintah pusat.

Antrean BBM Mengular di Sragen

Antrean warga mengular saat membeli bahan bakar minyak (BBM) premiun di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jetak, Kabupaten Sragen, Rabu, 27 Agustus 2014.

PARTAI DEMOKRAT

Lambang bintang mercy Partai Demokrat. Di Solo, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono hanya memiliki tiga kursi di DPRD Solo

Minggu, 28 September 2014

PKS Solo Jaring Balon Kepala Daerah dari Internal


SOLO—Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Solo melakukan pemilihan raya (pemira) untuk menjaring bakal calon (balon) wali kota atau wakil wali kota (wawali) dari internal partai. Hasil pemira yang dilakukan secara tertutup itu akan menjadi pertimbangan Tim Optimalisasi Musyarakah (TOM) untuk menentukan arah koalisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) Solo 2015.

Pemira yang digelar Sabtu-Minggu,27-28 September 2014, itu melibatkan 1.000-an kader PKS se-Kota Bengawan, baik dari kader pemula, kader muda, kader dewasa, sampai kader ahli. Setiap kader memiliki hak suara untuk mengisi formulir yang disediakan pengurus DPD PKS Solo. Formulir itu hanya berisi dua pertanyaan, yakni pertanyaan tentang adakah kader PKS yang memiliki kapabilitas menjadi balon kepala daerah dan pertanyaan lanjutan tentang siapa nama kader itu.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPD PKS Solo, Abdul Ghofar Ismail, saat ditemui, Sabtu, 27 September 2014, mengatakan pemira menjadi amanat musyawarah daerah (musda) pada akhir 2010 yang harus dilaksanakan. Menurut dia, ada dua rekomendasi musda yang harus direalisasikan PKS Solo, yakni menjadikan PKS sebagai partai pemenang kedua di Solo dan menjadikan kader PKS menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Atas dasar dua amanat itu, Ghofar, sapaan akrabnya, menyatakan rekomendasi pertama sudah terealisasi, sedangkan rekomendasi kedua diupayakan dengan start lewat pemira. “Pemira jadi sarana untuk menentukan balon wali kota atau wawali dari internal partai. Hasilnya nanti akan menjadi pertimbangan dalam syura TOM,” urai dia.
Dia mengatakan partai di luar PDIP masih ada harapan untuk menang dengan pelaksanaan pilkada lewat DPRD. Meskipun dalam perhitungan di atas kertas, PDIP dipastikan menang dalam pilkada Solo 2015. “Masih ada peluang. Kami tidak boleh putus asa sebelum berusaha. Jika parpol di luar PDIP ini bersatu, harapan untuk menang masih terbuka,” pungkas dia. (ok)


RUU Pilkada Disahkan, Demokrat Ubah Format Koalisi



SOLO—Pasca-Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala daerah (Pilkada), Partai Demokrat Solo terpaksa harus mengubah format gerakan koalisi dengan partai politik (parpol) lain di DPRD Solo. Partai berlambang mercy itu menyiapkan tujuh kriteria untuk bakal calon (balon) wali kota dan wakil wali kota (wawali).
Tujuh syarat itu ditentukan berdasarkan hasil diskusi yang melibatkan kalangan akademisi, pelaku bisnis, tokoh agama, dan stakeholder lainnya. Demokrat mencoba melibatkan publik dalam pilkada Solo 2015 meskipun pelaksanaannya dimungkinkan lewat DPRD Solo.
Semula koalisi parlemen Partai Demokrat dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sepakat untuk berlanjut hingga pilkada mendatang. Dua parpol yang tergabung dalam Fraksi Demokrat Nurani Rakyat (FDNR) itu mendekati Partai Amanat Nasional (PAN). Tanpa menafikkan gagasan koalisi itu, Sekretataris DPC Partai Demokrat Solo, Supriyanto, memilih mengubah format koalisi.

“Format kami yang diubah dalam konteks pilkada langsung atau pun pilkada lewat DPRD. Syarat yang kami susun itu akan ditawarkan kepada semua parpol dan publik. Bagaimana respons mereka akan terlihat. Kami ingin balon wali kota dan wawali ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjawab tantangan Solo ke depan,” terang dia saat dihubungi, Sabtu, 27 September 2014.
Rakyat Dilibatkan
Supriyanto akan membuat minimal tujuh syarat. Ketujuh syarat itu juga akan ditawarkan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemilik kursi terbesar di DPRD Solo. “Kami akan mendiskusikan tujuh syarat itu sesuai dengan kriteria yang ditentukan kalangan akademisi dan tokoh masyarakat lainnya. Meskipun nantinya pilkada lewat DPRD, masyarakat masih punya peluang terlibat langsung,” tegasnya.
Supriyanto berpendapat dalam pilkada mendatang lebih mempertimbangkan aspek kualitas pemimpin, bukan elektabilitas figur. “Penentuan syarat itu berdasarkan pertimbangan akademis, pengalaman, dan elektabilitas. Bukan elektabilitas figur yang ditonjolkan, tetapi lebih pada kualitas proses demokrasi ini,” pungkasnya. (ok)


Jumat, 26 September 2014

Tepis Calon Boneka, PAN-Gerindra Perkuat Koalisi Merah Putih



SOLO—Kendati pesimistis melawan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dua partai Partai Amanat Nasional (PAN) Solo dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Solo tetap merapatkan barisan dalam Koalisi Merah Putih untuk menghadapi pesta pemilihan kepala daerah (pilkada) Solo 2015.
Koalisi itu tetap dilakukan walaupun pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada tak menguntungkan bagi dua partai politik tersebut karena PDIP Solo memiliki kekuatan 53% dari 45 anggota DPRD Solo.
Ketua DPD PAN Solo, Umar Hasyim, saat ditemui, Jumat, 26 September 2015, mengatakan DPD PAN menghormati keputusan DPP PAN yang mendukung pelaksanaan pilkada lewat DPRD. “PAN di Solo memang tidak diuntungkan dengan pengesahan RUU Pilkada. Posisi PDIP dengan kursi terbanyak (24 kursi) di DPRD Solo tinggal ketok palu pada pilkada Solo 2015. Siapa pun calon PDIP pasti jadi Wali Kota Solo. Apa ada kader PDIP yang berani membelot terhadap keputusan DPC PDIP yang kini mengusung FX Hadi Rudyatmo?” cetus Umar.
Umar tak ingin kekhawatiran muncul pasangan calon boneka terjadi pada pilkada Solo 2015. Kekhawatiran itu akan terjadi ketika partai politik di luar PDIP tidak bergerak. Atas dasar itu, Umar bersiap untuk merapatkan barisan dalam Koalisi Merah Putih. “Walaupun koalisi itu terbentuk tetap tidak bisa menjadi kompetitor bagi PDIP. Siapa yang berani berkompetisi dengan PDIP?,” ujar dia.

Wakil Ketua DPC Partai Gerindra Solo, M. Irawan Purnomo, juga optimistis Koalisi Merah Putih itu akan kembali terwujud di Solo sebagai tindak lanjut atas koalisi di tingkat nasional. Gerindra sudah berkomunikasi dengan anggota Koalisi Merah Putih, seperti PAN dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Solo
Sekretaris DPC PDIP Solo, Teguh Prakosa, menegaskan PDIP konsisten mengusung calon tunggal yakni FX Hadi Rudyatmo dalam pilkada Solo 2015. Menurut Teguh, hanya partai besar yang diuntungkan dan ada partai yang tidak diuntungkan ketika RUU Pilkada disahkan. Dia tidak bicara soal untung dan rugi dalam menjalankan konstitusi yang disahkan DPR. “Kami belum bersikap dan masih menunggu instruksi dari DPP. Pascapengesahan RUU Pilkada itu pasti akan ada surat dari DPP,” tambah Teguh. (ok)

PENGESAHAN RUU PILKADA: KPU dan Panwaslu Kena Dampak


SOLO—Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membawa dampak terhadap penyelenggara pemilu di tingkat daerah. Seperti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo dipastikan tak memiliki pekerjaan dalam pilkada Solo 2015 karena pilkada diadakan lewat DPRD Solo. Demikian pula, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Solo pun otomatis hilang dari peredaran karena tak memiliki peran dalam pengawasan proses pilkada.
Komisioner Divisi Teknis Penyelenggara Pemilu KPU Solo, Pata Hindra Aryanto, Jumat, 26 September 2014, mengungkapkan KPU memilih tidak bersikap. Menurut dia, KPU menunggu RUU Pilkada itu diundangkan dan menunggu petunjuk lebih lanjut dari KPU pusat. Padahal KPU Solo sudah menyiapkan tahapan pilkada Solo 2015, namun KPU belum mencairkan anggaran pilkada senilai Rp2,4 miliar.
“Pengesahan RUU Pilkada itu otomatis berpengaruh pada pelaksanaan demokrasi di daerah. Secara kelembagaan, KPU tetap dan mandiri. Hanya struktur kelembagaan di bawah KPU yang hilang, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan(PPK) dan Panitia Pemungutan Suara(PPS). Sepertinya, Panwaslu juga tidak ada,” kata Pata.
Dia menegaskan tugas KPU hanya menyelenggara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Kendati demikian, Pata menyatakan KPU masih memiliki tugas melakukan sosialisasi demokrasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. “Contohnya melakukan pendidikan politik kepada para siswa dalam proses pemilihan ketua OSIS atau kegiatan lainnya,” tambahnya.
Ketua Panwaslu Solo, Sri Sumanta, berharap masih ada proses hukum berikutnya pascapengesahan RUU Pilkada itu, yaitu yudicial review (YR). Dia mendengar ada banyak lembaga yang mengajukan YR, seperti Perkumpulan Masyarakat Pemilu dan Demokrasi serta dari partai politik.
“Ada tiga lembaga yang siap-siap melakukan YR ke Mahkamah Konstitusi [MK]. Jumlah lembaga itu terus bertambah. Selama YR tidak dilakukan Panwaslu otomatis hilang karena keberadaan Panwaslu tidak efektif,” ujar dia.
Panwaslu ak memiliki peran apa pun dalam pengawasan pilkada di DPRD. Proses pemilihan itu ada ditangan 45 wakil rakyat, termasuk panitia penyelenggara. “Para calon hanya menyampaikan visi dan misi di hadapan para anggotaDPRD, tidak perlu kampanye,” tutur dia. (ok)


Minggu, 14 September 2014

Deparpolisasi Transisi Demokrasi


Demokrasi di Indonesia tumbuh berkembang menjadi lebih dewasa. Proses transisi demokrasi hampir selalu diwarnai dengan diskursus perubahan sistem demokrasi sejak negara ini dilahirkan. Sejak Pemilu 1955, sistem multipartai proporsional dianggap paling cocok, kecuali selama 32 tahun di bawah rezim otoritarianisme Orde Baru. Gerakan deparpolisasi justru dilakukan oleh penguasa Orde Baru yang menginginkan sebuah hegemoni partai atau partai tunggal. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya menjadi partai bonsai yang lemah dan tak berdaya.
Sejarawan asal Australia, Lance Castles (1999), menyatakan konsep partai dan sistem kepartaian sebagai unsur esensial negara sebenarnya berasal dari Barat, yakni mengadopsi sistem dua partai di Inggris. Sistem dua partai di Inggris banyak ditiru negara lain dan biasanya berlaku sistem pemilu distrik dengan tingkat integrasi nasional yang tinggi, seperti Amerika Serikat, Autralia, Jamaica, Malta, dan Bangladesh. Di India semula juga meniru sistem distrik dengan dua partai, namun akhirnya melahirkan sistem multipartai. Sistem multipartai lebih berkembang di luar dunia Anglo-saxon, termasuk di Indonesia.
Castles membuat tipologi sistem partai menjadi empat, yakni (1) sistem dua partai yang selalu memakai sistem distrik, (2) sistem multipartai yang biasanya proporsional dengan tingkat integrasi rendah, sehingga distrik cenderung memilih memilih partai sesuai dengan loyalitas suku dan agama, (3) sistem partai tunggal di mana tidak terjadi kompetisi damai dalam merebut kekuasaan, dan (4) sistem partai dominan berkepanjangan yang tidak memungkinkan terjadi alternasi partai besar.
Tipologi kedua berkembang di Indonesia secara lebih baik sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Transisi demokrasi di era reformasi seolah ingin mengembalikan romatisme sejarah Pemilu 1955 yang diklaim banyak kalangan sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia. Euforia partai politik (parpol) kembali menggeliat. Semua elemen ramai-ramai mendirikan parpol dengan dalih bisa berperan dalam proses pergantian kekuasaan. Pemilu demi pemilu dievaluasi dan dikritisi. Pertumbuhan parpol dibatasi dengan sistem elektoral. Partai-partai gurem pun bertumbangan karena tidak mampu bersaing dengan parpol yang memiliki basis massa yang kuat. Angka 48 parpol pada Pemilu 1999 berkurang secara bertahap hingga akhirnya hanya tersisa 12 parpol pada Pemilu 2014.
Pemilu 2014 menjadi tonggak kedua dalam perkembangan demokrasi setelah euforia parpol berlalu. Pemilihan presiden (pilpres) 2014 memunculkan fenomena yang cenderung menunjukkan gerakan deparpolisasi ala baru. Sebuah evolusi gerakan deparpolisasi rezim Orde Baru. Meminjam istilah yang populer di Mahmakah Konstitusi (MK), gerakan deparpolisasi modern ini dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Gerakan ini bukan dilakukan oleh penguasa tunggal, tetapi dilakukan oleh penguasa dalam arti yang sebenarnya (penguasa jamak), yakni rakyat.
Partai sebenarnya sangat bermanfaat sebagai sarana rekrutmen, oposisi, kompetisi dan alternasi dalam negara modern yang demokratis, tetapi menjadi kutukan bagi masyarakat bila partai menjadi alat untuk memobilisasi rakyat demi kepentingan penguasa (totalitarianism). Persepsi yang disampaikan Castles itu kemungkinan yang menjadi awal pemikiran tumbuhnya deparpolisasi di Indonesia. Para pegiat demokrasi dan para aktivis partai yang terhambat karier politiknya berlomba-lomba membuat gerakan dengan mengatasnamakan rakyat yang dikenal dengan istilah sukarelawan. Mereka mengorganisasi diri dan kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang nyaris sama, menjadi pemenang dalam kompetisi pilpres. Mereka tidak sepenuhnya percaya dengan mesin parpol yang cenderung oportunis dan pragmatis.
Embrio gerakan deparpolisasi ini sebenarnya mulai menggejala pada pilpres sebelumnya, tetapi belum masif, terstruktur, dan sistematis. Sukarelawan politik tersebut mengklaim sebagai mesin politik di luar partai. Ironisnya, sukarelawan-sukarelawan itu mendapatkan restu parpol demi merebut kekuasaan dalam momentum transisi demokrasi. Kini, sukarelawan politik itu menjadi bumerang bagi parpol karena peran mereka lebih dominan dalam mengarahkan kebijakan politik pemerintahan baru.

Fungsi Kontrol Alternatif
Gerakan deparpolisasi ternyata tak berhenti pada momentum pilpres tetapi terus bergerak menjalankan fungsi kontrol alternatif terhadap negara yang didukung media massa. Dualisme pilihan sistem demokrasi dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi momentum kedua bagi sepak terjang gerakan politik baru ini. Mereka berupaya untuk melawan Koalisi Merah Putih yang dipastikan menang dalam voting di DPR dalam mengambil keputusan pilihan pilkada langsung atau pilkada lewat DPRD.
Gerakan masif, terstruktur, dan sistematis dilakukan dengan model-model gerakan politik sebelumnya. Gabungan kepala daerah yang menyatakan sikap menolak sistem pilkada lewat DPRD menjadi bukti gerakan deparpolisasi atas nama kepentingan rakyat. Manuver-manuver politik yang dilakukan para pejabat politis juga menunjukkan sikap ahistoris terhadap peranan parpol. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang hengkang dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) lantaran tidak setuju dengan sistem pilkada lewat DPRD secara tidak sadar juga melakukan deparpolisasi. Keberanian Ahok lepas dari cengkeraman parpol penggagas Koalisi Merah Putih itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat, terutama di dunia maya. Gerakan itu diikuti kepala daerah-kepala daerah lainnya di Jawa dan luar Jawa. Belakangan pemerintah yang mengusulkan RUU Pilkada pun terbawa arus untuk mendukung gerakan deparpolisasi itu.
Parpol tidak bisa berbuat banyak untuk menekan gerakan rakyat karena dibatasi dengan regulasi. Sementara gerakan deparpolisasi yang cenderung mengikis peran parpol lebih leluasa karena tidak ada batasan yuridis dalam menekan penguasa (parpol). Bila gerakan ini berkembang akan menjadi kekuatan baru dalam ruang demokrasi di Indonesia. Deparpolisasi akan menjadi gerakan oposisi murni terhadap penguasa yang berdiri di atas kaki parpol. Deparpolisasi akan menjadi alat kontrol politik yang efektif manakala dilakukan secara murni, objektif, dan benar-benar untuk kepentingan rakyat, bukan menjadi boneka penguasa.